“Seseorang akan diuji di titik terlemahnya…”, demikian kata seorang ustadzahku pada kami, anak-anak binaannya yang seringkali bertingkah macam-macam dan memusingkan kepala beliau. Dan kami membenarkan perkataannya dengan diam, tertunduk hingga meneteskan air mata. Itu dulu, dulu sekali…saat aku dan teman-temanku masih menikmati tahun kedua sebagai mahasiswa.
Padahal saat itu yang menjadi masalah kami kebanyakan hanya seputar masalah na’u dan baqa saja. Aktivis mahasiswa tergoda cinta, sesama aktivis mahasiswa salah paham dan mendiam-diamkan, atau yang semisalnya lah. Hanya itu, titik.
Bagaimana sekarang?
Seiring berjalannya waktu, kami pun terjun ke masyarakat sesungguhnya. Memasuki dunia kerja yang sarat persaingan, berdiam dalam dunia dimana manusianya larut dalam aktivitas duniawi dan menjadikannya sebagai orientasi hidup. Dunia yang menjadikan agama tak lebih sebagai simbolitas diri dan akhirat tak lagi terpikirkan dalam benak. Dunia dimana manusia berbangga diri dengan keuntungan materi yang dihasilkan per harinya.
Ya, itulah dunia kapitalisme yang mengagungkan kenikmatan materi di atas segalanya. Dunia kapitalisme yang membuat orang baik berubah abu-abu hingga hitam karena terseret arus sistemnya yang buas. Tak terkecuali para aktivis yang kesehariannya larut dalam dunia dakwah. Tuntutan kebutuhan keluarga yang terus meningkat, beban hidup yang makin berat serta propaganda gaya hidup modern yang hedonis tak luput membuat galau. Dan perangkap syaitan pun dipasang agar diri pelan-pelan melalaikan amanah hingga keluar dari jalan dakwah.
Jika demikian, saatnya rehat sejenak dan merenungi sebuah kisah yang begitu menginspirasi jiwa. Belajar dari Ibrahim as tentang cinta, ketaatan dan pengorbanan…. Baca lanjutannya…^_^