Menulis Untukku

Gambar diambil dari google

Gambar diambil dari google

Umum kita ketahui bersama bahwa anak kecil biasanya punya banyak cita-cita.  Dan cita-cita itu selalu berubah dari waktu ke waktu bergantung pada informasi yang diterimanya. Hari ini ingin jadi pilot, eh…bulan depan malah berubah jadi arsitek atau dokter.  Sebagai manusia yang pernah menjalani fase sebagai anak kecil, aku pun mengalami masa-masa lucu itu.  Dan profesi yang menarik perhatianku adalah wartawan!

“Brina, mau jadi apa nanti?”, tanya Pamanku.

“Wartawan!!!”, ucapku dengan sok keren.  Dan orang dewasa yang mendengar celotehku hari itu pun tertawa geli.  Mereka jelas tahu latar belakangnya.  Ya, aku terpesona pada seorang wartawan.  Pembawaannya yang kalem namun tetap ramah dan menyenangkan membuatku menyukainya.  Bahkan saat berbicara, aku bisa merasakan aura kecerdasannya.  Dan dia bekerja dengan peralatan paling canggih yang pernah kulihat.  Komputer dan kamera berlensa besar yang masih sangat jarang di masa itu.  Makanya aku suka ngintil di ruang kerjanya.

Sebuah ruangan berlatar rak yang dipenuhi buku-buku membuatku mengambil kesimpulan

jika ingin pintar maka aku juga harus banyak membaca sepertinya, hehe….  Meja kerja yang dilengkapi perangkat komputer itu juga menarik perhatian.  Jika kutanya sedang apa, jawabannya selalu, “Menulis!”.  Saat itu aku terheran-heran, mengapa orang bisa menulis tanpa alat tulis semisal buku dan pensil?  Makanya dengan kening berkerut-kerut aku mendekat dan memperhatikannya.  Kulihat monitor tabung berlayar cembung dengan cahaya kedap-kedip itu menampilkan beberapa kalimat.  Dan kalimat-kalimat itu terus bertambah saat ia menekan tuts keyboardnya.  Dan aku hanya bisa mengatakan, ”Wah…”.  Itulah sepenggal kisah kecupuanku saat kecil yang melatarbelakangi kesukaan pada profesi wartawan kala itu.

Nyatanya, saat dewasa aku menumbuhkan minat pada bidang yang lain.  Meski begitu ada yang tertinggal dari keterpesonaanku pada sang wartawan yaitu aktivitas menulis.  Mungkin alam bawah sadarku masih menyimpan memori indah tentang sosok keren penulis.  Entah itu wartawan yang menghasilkan berita maupun penulis buku yang membagi pengetahuannya.  Pengalaman  pertama menulisku adalah mengisi diary yang dihadiahkan padaku saat masih SD.  Aktivitas itu terus berlanjut hingga dewasa.  Naik kelas sedikit dalam dunia menulis saat diwajibkan menyetor tulisan di mading dan buletin dakwah kampus (yang tentunya harus diedit sana-sini oleh para senior saking amburadulnya).  Atau iseng-iseng menulis cerpen, cerbung dan novel yang dibaca kalangan terbatas aka geng ijo, hehe….

Biasanya aku selalu menunggu komentar-komentar mereka dengan harap-harap cemas.  Jihan biasanya yang paling terlihat hanyut dalam kisahku lalu menambahkan ide-ide konyol sehingga imajinasi kami tentang ending story-nya makin berkembang.  Lalu Adel yang merupakan makhluk kontradiktif dengan kami berdua akan memberikan komentar logis-analitisnya.  Aihhh…pedas minta ampun mendengarnya!  Tapi tetap saja aku suka mendengar berbagai kritiknya tentang tulisanku.  Ia mencoba membawaku untuk tetap rasional bahkan jika itu adalah kisah fiksi, hehe….  Terakhir yang jadi korban tentu saja Naily yang bahkan tak suka membaca.  Tapi demi temen, akhirnya dia pun meluangkan waktu membaca tulisanku.  Biasanya komentarnya bukanlah seputar konten kisah.  Tapi tentang perasaan yang muncul dihatinya saat membaca.  Dan itu mau tak mau membuatku tersanjung mengingat tipe orang yang paling tak suka membaca sekalipun merasa sedih atau bahagia setelah membaca tulisanku.  Artinya ia pun hanyut dalam cerita.

Dan begitulah, karena dorongan mereka aku tertarik menjadi blogger yang membagikan kisah di dunia maya.  Well, sebenarnya mereka menyuruhku menulis buku saja!  Hehe…  Bukankah mengharukan melihat para sahabatmu bahkan lebih antusias dibandingkan  dirimu sendiri?  Yang paling kusuka adalah saat opiniku muncul di koran.  Meskipun hanya koran lokal namun tetap saja membahagiakan.  Terlebih saat orang-orang yang mengenalku kemudian memberikan komentar dan tanggapannya.

Sampai dua tahun lalu seorang rekan berkata padaku, “Mbak, menulis materi keislaman itu memang bagus.  Tapi sekali-sekali juga menulis tentang bidang keilmuan kita dong…”, ujarnya di hadapan para senior di kantor.

Aku meringis mendengarnya.  Entahlah, sejujurnya saat itu aku merasa tak percaya diri jika harus menulis tentang bidang keilmuanku.  Bukan karena aku tak menyukainya.  Bukan pula karena aku tak menguasainya.  Hanya saja aku belum mempraktekkannya dengan benar sebagaimana pemahamanku saat belajar dulu.  Aku melakukan banyak kesalahan dalam praktek pekerjaanku yang memang berkaitan dengan komunikasi pembangunan.  Sehingga aku tak punya kekuatan untuk menulis bahkan jika itu hanya dari aspek teoritis belaka!  Aihhh…malu!!!  Maka saat itu aku menganggap pekerjaan menulis dibidang kelimuanku adalah sebuah PR besar.  Dan komentar rekan seniorku itu adalah tantangan yang harus kutaklukan.

Alhamdulillah, hari ini akhirnya aku menerima honor penulisan pertama kali untuk artikelku.  Jangan tanya berapa ya?  Karena tentu saja nominalnya kecil.  Kalau mengutip kata-kata salah satu narasumber di pelatihan yang kuikuti, honor penulisan kami itu kalau dibawa nongkrong di starbucks mungkin nggak cukup untuk bayar kopi dan kue-kuenya.  Nah, berhubung di tempatku belum ada starbucks, ya jadinya bikin kopi radix sendiri di rumah dan beli kue cukuplah, hehe….

Intinya sih…nilai nominalnya saat ini memang masih minimal, namun rasa bahagianya itu yang maksimal!

“Keluar lagi, Mbak…”, ujar seorang rekan sambil membawa koran ke mejaku.  Begitulah kisah artikel perdanaku yang muncul di website kementerian juga tiga media lokal.  Bagi seorang pemula sepertiku (yang karir menulis paling stabil adalah sebagai blogger angin-anginan) maka ini adalah peristiwa bersejarah, hehe….  Ingin rasanya aku bercerita pada sang wartawan yang menanamkan kata “menulis” di kepalaku banyak kali.  Mata tuanya yang bahkan sudah kurang mengenaliku akibat rabun itu pasti akan mengerjap takjub.  Menyadari gadis kecil yang sering dititip dirumahnya itulah yang justru menyukai aktivitas menulis.  Terutama mengingat anak-anaknya sendiri yaitu dua pamanku justru memilih belajar komputer dan mengajar daripada mewarisi profesi wartawan kakekku.

“Neya’…ulun sudah menjawab tantangan menulis!”1.

 

*Ditulis setelah menerima honor artikelku.

1”Kakek, aku sudah menjawab tantangan menulis!”.

2 respons untuk ‘Menulis Untukku

  1. mhilal berkata:

    Hei, selamat ya shabrina, tulisannya sudah dimuat di media. Hebat…
    Soal menulis tentang komunikasi pembangunan, saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, shabrina. Itu bidang ilmu yang banyak dibutuhkan orang. Anggap saja kalau kamu menulis di bidang itu, orang membacanya karena butuh, bukan menilai tulisanmu.
    Salam kenal dari Malang 🙂

Tinggalkan komentar