UDIN

Udin menahan pedih yang menyayat hatinya saat mendengarkan cercaan Acil1 Minah.  Bahkan matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya pada dunia, namun Acil Minah sudah membeberkan aibnya pada seluruh tetangga.

“Coba kamu ingat Udin…uang yang kamu pinjam itu sudah berapa lama???  Saya juga perlu duit buat hidup!  Saya lihat kamu kalau punya uang bukannya membayar utang malah kamu hambur-hamburkan.  Harusnya kamu mendahulukan membayar utang pada saya kan?”, ujar Acil Minah penuh Emosi.  Dia bicara dengan suara keras yang bisa didengar dalam radius sekian puluh meter.  Sengaja…mempermalukan Udin dan keluarganya yang tak juga membayar utang.

“Bukan begitu, Cil.  Tapi memang saya belum ada duit buat bayar utang dengan Acil.  Saya benar-benar minta maaf jika waktu pengembaliannya lama.  Selalu ada yang lebih mendesak, makanya saya mohon kebijaksanaan Acil untuk memberi tambahan waktu”, sahut Udin menekan perasaan.

Enor, istri Udin memilin-milin ujung dasternya.  Sesekali ia menyusut air mata yang menetes diam-diam di sudut matanya.  Isaknya tertahan.  Uji dan Yakin, dua anaknya yang masih duduk di kelas enam dan lima sekolah dasar berdiri di pinggir pintu kamar.  Menyaksikan Ibu dan Bapaknya yang jadi sasaran kemarahan tetangga mereka dengan ketakutan.  Sementara Komar, anak bungsu mereka masih belum terganggu dengan suara-suara kemarahan, ia masih dibuai ayunan.

“Apa???  Tambahan waktu lagi?  Uang lima ratus ribu yang kamu pinjam itu sudah setahun.  Kalau kamu memang ada niat baik mengembalikan uang itu pasti sudah dari dulu-dulu, Din….  Tapi buktinya mana?  Saya juga perlu uang, jadi saya minta dikembalikan.  Titik!!!”, balas Acil Minah sengit. Baca Lanjutannya…^_^