Parodi Politik di Negeri Pongo

“Pongoooo…amankan sanak saudaramu!  Rumah jabatan kepala suku dibakar!!!”, teriak si Eagle memperingatkan.  Sedari tadi ia sibuk berputar-putar di angkasa sambil memantau keadaan di bawahnya.  Tak lupa memberi beberapa peringatan kepada para warga  hutan lainnya agar berlindung ke tempat aman.

Pongo yang hidup di sebuah hutan yang dijuluki deep rain forest bersama keluarga besarnya, langsung ngacir mengamankan diri.  Begitu pula tetangga sekitanya seperti Mongki, Snake hingga keluarga Bu Aya!  Pintu rumah ditutup rapat, tak satupun yang berani berkeliaran di hutan.  Yang bisa mereka lakukan hanya menunggu kabar dengan memasang telinga di balik pintu.

Apa pasalnya hingga si Pongo dan warga deep rain forest dalam kegalauan begini?  Ternyata oh ternyata…di negeri Pongo tengah terjadi gonjang-ganjing politik pemilihan kepala suku.  Selidik punya selidik rupanya kisruh pemilihan kepala suku berawal dari bentrokan antar pendukung calon kepala suku.

Tahun lalu negeri Pongo mengadakan pemilihan kepala suku.  Ada dua calon yang berpartisipasi dalam pemilihan tersebut yaitu Lion dan Tiger.  Keduanya bersaing meraih hati warga deep rain forest dengan melakukan kampanye super heboh dan menghabiskan dana yang tak sedikit.  Maka wajar jika keduanya sangat berharap untuk menang dan mengembalikan modal kampanyenya.

Lion sebagai mantan kepala suku merasa di atas angin.  Dia lebih berpengalaman tentunya, maka kans-nya lebih besar ketimbang si Tiger, pikirnya.  Namun si Tiger yang punya dana luas tak terbatas karena menguasai perekonomian di hutan itu juga tak mau kalah!

Berbagai manuver politik pun dilakukan keduanya untuk menang dan mengungguli saingannya.  Pertempuran politik pun dimulai….

Singkat cerita, berdasarkan perhitungan suara, si Tiger akhirnya memenangkan pemilihan kepala suku tersebut.  Si Lion tentu saja tak terima.  Merasa tidak puas akibat kecurangan yang dilakukan Tiger, maka Lion mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi.  Tak lupa ia mendatangkan saksi dan bukti-bukti yang memberatkan si Tiger di persidangan.  Apa yang terjadi?

Para pembesar hutan yang duduk di mahkamah konstitusi pun akhirnya menerima tuntutan si Lion sehingga batal lah si Tiger naik ke tampuk pimpinan sebagai kepala suku.  Akibatnya, genderang perang pun kembali berkumandang….

Sekali lagi warga hutan dibuat galau dengan tingkah polah Tiger dan pengikutnya.  Dari mulai pasang spanduk anti Lion sampai merusak fasilitas umum di hutan itu pun dijabanin si Tiger dalam rangka menyuarakan aspirasinya.  Kalah itu pedih, teman…hehe…^^

Menghadapi masalah ini, para tetua suku yang dihormati akhirnya mengambil jalan tengah.  Yaitu menunda pelantikan si Lion dan mengambil alih tugas kepemimpinan sebagai kepala suku sementara waktu.

Waktu terus berjalan…namun keduanya tak juga berkawan.  Masing-masing kekeuh minta dilantik.  Yang satu berdasarkan kemenangannya dalam pemungutan suara dan satunya lagi berdasarkan keputusan mahkamah konstitusi.  Nah, semakin pusinglah para tetua ini!  Warga hutan pun ikut berkomentar.

“Gimana sih si Lion?!  Udah jelas kalah, masih aja nggak mo terima.  Kalo kalah ya kalah aja…”, ujar Snake.

“Ya nggak bisa gitu dong!!!  Kan si Tiger curang!  Jelas aja si Lion nggak terima dan mengajukan tuntutan!”, si Mongki menyahut.

“Betul betul betul…”, sambung Enggang.  “Lagian kan MK sudah mutusin bahwa Lion lah yang layak menjadi kepala suku kita….  Jadi Lion harus tetap kita angkat menjadi kepala suku!”.

“Alaaaah…Tiger dan Lion kan setali tiga uang!  Sama aja curangnya.  Toh semua warga hutan sini juga tahu seperti apa mereka!  Gimana kalo kita adakan pemilihan ulang kepala suku?  Tapi si Lion dan Tiger tak boleh ikut!  Aku cukup layak kok jadi pemimpin kalian!”, kata si Kancil dengan cueknya.

“Huuuu…”, cemooh yang lainnya serempak.

“Dari pada ribut-ribut dan bikin ribet, mending kayak gini aja…nggak usah ada kepala suku! Toh kehidupan kita di hutan ini bisa tetap berjalan.  Ya kan?’, si Rabbit nyeletuk sambil menggigit wortelnya dan langsung di amini si Musang.

“Ya nggak bisa gitu dong, Rabbit….  Bagaimanapun, kita tetap perlu seorang kepala suku untuk mengurusi urusan warga hutan ini.  Supaya tidak seperti anak ayam yang kehilangan induknya.” kata Eagle sambil melirik kepada Heni.  Lalu Heni si Induk Ayam segera merangkul anak-anaknya.

“Kenapa sih kita mesti memfokuskan pembahasan hanya pada Lion dan Tiger?  Kenapa kita tidak menyoroti sebab musabab persoalan ini?  Bukankah semua ini terjadi karena lemahnya produk hukum disistem pemerintahan hutan kita ini?”, Pongo ikut nimbrung.

Semua mata tertuju pada Pongo.  “Pongoooo…plis deh, jangan buat masalah baru!”, ujar Bu Aya.

“Lho…saya nggak buat masalah baru kok!  Justru masalah seperti ini akan terus berulang kalau hutan kita tetap memakai hukum seperti sekarang.  Hukum yang sarat kepentingan.  Katanya kita demokratis tapi pada prakteknya…tetap aja hukum rimba yang berlaku.  Ya kan?”, balas Pongo.

“Bukankah dalam sistem ini…siapa yang kuat maka dia akan berkuasa?  Dan dia akan membuat hukum sesuai dengan keinginannya atau kepentingannya untuk melanggengkan kekuasaan!  Kepala suku boleh berganti tapi dengan aturan main yang sama, masalah seperti sekarang akan terus berulang”.

“Jadi, kenapa kita tidak mengganti saja sistem atau aturan yang rusak ini dengan aturan dari Sang Maha Kuasa?”, tegas Pongo.

“Pongo, sudahlah….  Meskipun teman-temanmu dan warga hutan ini menyadari bahwa  hukum kita sangat lemah, namun kita belum siap untuk menggantinya dengan hukum yang kau anggap lebih baik itu!”, ujar Kakek Shifu si Kura-kura.

“Tapi kenapa, kek?  Mau sampai kapan kita hidup dalam hukum yang serba tak jelas seperti saat ini?”, Pongo tetap bersikukuh.

Snake, Mongki, Enggang, Kancil, Rabbit, Musang, Bu Aya, Eagle dan Heni hanya bisa tertunduk diam.  Tak mampu berkata-kata lagi karena apa yang dikatakan si Pongo benar adanya!

Begitulah…sekilas perdebatan diantara warga hutan terkait masalah pemilihan kepala suku.

Pongo, sebagai salah satu warga di hutan yang selalu peduli dengan permasalahan di negerinya,  tetap ingin mencari jalan keluarnya.  Ia ingin mengundang teman dan berbagai komponen warga hutan untuk urun rembug sekaligus mendengarkan pendapat para ahli.  Agar mereka tak terjebak dengan pragmatisme politik democrazy.  Ia ingin mengajak berfikir out of box, keluar dari pakem democrazy yang selama ini dianggap paling sempurna dan ideal oleh warga hutannya.  “Sudah saatnya kita menyingkirkan pemikiran usang warisan peradaban tak bermutu itu dan menggantinya dengan sistem buatan Sang Maha Kuasa.  Pihak yang paling tahu karakteristik dan kebutuhan makhluk ciptaan-Nya.  Dia yang tak punya kepentingan atas berbagai aturan yang dibuat-Nya selain kebaikan bagi makhluk ciptaan-Nya”, gumam Pongo pada dirinya sendiri.

Maka Pongo memutuskan untuk terus memperjuangkan ide itu hingga titik darah penghabisan.  Meskipun teman-teman dan warga hutan lainnya mencemooh perjuangannya.

Tak lupa Pongo berdoa kepada Sang Maha Kuasa, agar ia tetap diteguhkan dalam perjuangannya, juga agar teman-teman dan warga hutan lainnya terbuka hati dan pikiran untuk menerima kebenaran.

Pongo tak membenci individu  Lion dan Tiger, tapi ia membenci perbuatan Lion dan Tiger yang menganut democrazy yang benar-benar crazy dan membuat banyak warga hutan sengsara.  Sadarlah wahai Lion dan Tiger…. Peaceeeee….^^V

2 respons untuk ‘Parodi Politik di Negeri Pongo

Tinggalkan komentar