Deadline

deadlineDeadline! Deadline! Deadline!!!

Ah, bagaimana bisa waktu terasa cepat berlalu? Baru saja kemaren Ramadhan, lalu kita merayakan datangnya Syawal. Dan sekarang syawal telah berlalu dan digantikan Dzulqa’idah. Tingallah aku yang mengaduh, mengeluh karena tertinggal oleh waktu.

Pekerjaanku terlantar di tengah jalan, belum kelar-kelar. Dan aku terpaksa harus membayar penalti sesuai perjanjian dengan Adel. Oke, sebenarnya ini berlebihan. Ceritanya dimulai dari aku dan Adel yang sudah berikrar sekian lama sebagai teman sukses. Dan yang terbaru, kami berjanji saling dukung dalam sebuah proyek menjanjikan. Mengingat kemampuan kami yang terbatas, kami pun membagi job des sesuai potensi masing-masing. Adel di bagian promosi dan pembiayaan sementara aku sebagai konseptor sekaligus pelaku kegiatan. Sebagaimana kebiasaanku yang terlampau perfeksionis, aku akhirnya malah mengambil porsi lebih pada formulasi konsep dan menunda aksi. Selalu saja ada yang kurang menurutku. Yang inilah! Itulah! Saat aku sudah benar-benar menemukan konsep yang pas, suasana yang nyaman untuk memulai, dan berjalanlah pekerjaan itu mendekati akhir, eh…ada aja godaannya.

Dimulai dari tambahan amanah, di rumah, kantor, dan urutan panjang lainnya. Fiuh, bisa kamu bayangin dong akhirnya? Yep, aku mulai dikejar deadline ini sejak dua minggu lalu. Aku merasa tubuhku kaku akibat terlalu banyak duduk di depan netbook, notebook dan komputer. Benar! Bukan hanya satu, tapi ketiganya! Tubuhku rasanya overload bekerja.

Di kantor aku sedang ketumpukan (alias ketiban) pekerjaan Mbak-Mbak yang lagi hamil dan akan cuti tepat akhir bulan. Berhubung aku satu-satunya yang masih imut, dianggap lebih teliti dan melek teknologi maka aku terpaksa menerimanya. Ya mau ditolak juga nggak bisa! Yang junior harus “belajar lebih banyak” makanya harus diberi pekerjaan lebih banyak juga, demikian becandaan teman senasib seperjuanganku. Aku hanya memutar bola mata menanggapinya. Nggak lucu rasanya!

Masalah bertambah lagi karena sejak kamis kemaren tim inspeksi dari pusat datang dan “mengacak-acak” kantor. Lengkaplah sudah! Tim itu bahkan berencana bekerja sampai malam. Aku mengeluh panjang dalam hati. Mana sedang deadline? Wajar kan kalau aku kalang kabut?

Pekerjaanku sebenarnya tidak penting dan tergolong mudah, hanya membantu para senior mencari berkas-berkas di tumpukan arsip berdasarkan permintaan tim. Atau menyusun data sesuai urutan-urutan tertentu untuk membantu para senior itu menjawab daftar pertanyaan yang diajukan. Masalahnya akan sederhana jika sistem kearsipan kami rapi. Tapi ini? Alamak! Berenang di tumpukan kertas setinggi gunung tanpa tahu arah!

Dan kebiasaan saling menuding pun mulai antar para seniorku. Daripada terjadi perang berdarah, aku menawarkan solusi lain. Berkas yang memang bisa dibuat ulang karena termasuk data internal, ya dibuat aja. Data mentahnya ada, dengan bantuan teknologi yang makin canggih tentu kami bisa menyelesaikannya selama jangka waktu keberadaan tim itu. Lagipula, mau mereka bertengkar panjang kali lebar kali tinggi pun percuma. Takkan membuat data-data itu kembali dengan sendirinya ke hadapan kami. Usulku disetujui. Dan akulah yang didapuk menanganinya.

Masalah lain muncul saat format arsip laporan pun berantakan. W-O-W!!! Aku merasa di ujung tanduk. Itu artinya aku harus membuat ulang, dimulai dari nol. Ah, kenapa aku mengusulkan ide ini?

“Mbak Brina, sudah belum?”, pertanyaan ini diajukan per lima menit.

Ugh…rasanya aku greget minta ampun.

“Sabar, Pak! Saya format ulang dulu biar mudah memasukkan datanya…”, jawabku kalem.

Dan saat pekerjaan selesai, baru sempat mencetak data-data itu separuh, listrik dipadamkan. Dan kami pun bubar. Menunggu besok hari, melanjutkan pekerjaan tertunda. Para senior bersorak senang. Aku juga lega, setidaknya ada waktu bagiku istirahat setelah seharian berkutat dengan tumpukan berkas.

Tapi aku lupa, proyekku dengan Adel tinggal hitungan hari. Adel bahkan sudah memperingatiku berkali-kali. Jadi aku pun memaksakan diri. Saat pulang ke rumah, aku hanya sempat bebersih diri sebentar dan mengisi perut. Sisanya aku kembali berkutat dengan pengerjaan proyek itu. Tubuhku sampai kaku saking lamanya berada di depan layar-layar berbeda ukuran itu.

Di kantor aku ditemani PC dan berhadapan dengan layar tujuh belas inchi. Di atas mejaku, ada notebook empat belas inchi yang menyimpan semua pekerjaan rumahku. Termasuk proyek terbaruku. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian kata pepatah. Dia ngadat saat dipakai online. Terpaksa aku menggunakan netbook sepuluh inchi yang masih kosong dari data yang diperlukan. Jadi aku bolak-balik mengambil data yang diperlukan. Ribet!

Dan puncaknya adalah kemaren. Pekerjaan yang kujadwalkan selesai beberapa hari sebelumnya, tertunda, tertunda, tertunda! Dan akhirnya, kelelahan akibat berbagai pekerjaan itu membuatku terbantai dengan sukses. Tubuhku tak lagi hanya terasa kaku. Tapi juga demam. Hampir dua minggu ini, aku hanya tidur paling lama empat jam. Itu pun tak nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun, ingat pekerjaanku belum selesai! Tak terhitung berapa gelas kopi yang kuminum. Di bawah mataku bahkan sudah ada lingkaran hitam. Aku sudah mirip panda!

Sudah begitu ternyata aku tetap tak bisa menepati batas waktu yang jatuh tempo hari ini. Oh, sayangnya! Padahal pekerjaanku hampir rampung. Ibarat rumah, bangunan pokoknya sudah selesai. Aku hanya perlu mengecat, membersihkan, memasukan perabot dan menyusunnya. Aku sudah sedekat itu. Jadi aku kecewa. Tapi juga mau bagaimana jika kambingnya adalah aku sendiri?

Aku hanya perlu melakukan sebagaimana perjanjian. Membayar penalti. Dan minta maaf pada sahabat yang sudah mempercayakan pekerjaan ini padaku. Aku belum bisa memberikan hasil terbaik. Dari sini aku belajar lagi tentang sesuatu.

Jangan terlalu fokus meraih kesempurnaan sejak awal dalam melakukan sesuatu. Keberhasilan adalah sebuah proses panjang bagaimana memanfaatkan waktu yang berharga ditambah usaha-usaha optimal kita. Coba dari langkah pertama yang mungkin jauh dari nilai “baik”. Namun jika langkah pertama ini dijalankan sesuai deadline yang ditentukan maka akan ada kesempatan bagi kita untuk merevisinya. Memperbaiki segala kekurangannya sambil terus menerus maju ke fase selanjutnya. Begitu terus hingga sampai ke puncak.

Aku masih berencana menyelesaikan proyekku meski telah terhitung gagal. Setidaknya dari kejadian ini aku makin menyadari orang-orang yang mencintaiku tak pernah berhenti memperhatikanku. Aku tahu maksud penalti yang diberikan Adel padaku, sebuah motivasi untuk mengasah potensi lebih baik. Pedang yang tak diasah, mana bisa menjadi senjata berharga.

Tak menunggu lama, di akhir waktu proyek gagalku ini, dia sudah mengajukan proposal pekerjaan selanjutnya. Teman sukses, ayo kita fastabiqul khairat!

 

*Ditulis di sela-sela penyelesaian sisa proyekku sambil ngadem di perpustakaan daerah. Jazakillah khairan katsir, Del atas kesempatannya. Yuk kita bersaing di kesempatan berikutnya!

Tinggalkan komentar